BATUSANGKAR – Sebanyak lima gubernur Sumatera Barat dan empat bupati Tanah Datar gagal mencari solusi mengatasi macet, pada ruas jalan nasional Padang Panjang-Bukittinggi. Titik sumbatnya ada di Pasar Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar, dan Pasar Padang Luar, Kabupaten Agam.
Jarak dari Padang Panjang ke Bukittinggi hanya 18 kilometer. Pada Kamis, jarak itu bisa ditempuh paling lama satu jam, Jumat satu setengah jam, Sabtu dua setengah jam, Ahad dua jam, Senin tiga hingga empat jam, dan Selasa satu setengah jam. Kalau musim liburan anak sekolah atau libur hari besar keagamaan, bisa dilintasi tiga hingga lima jam.
Sempat reda sebentar, setelah bongkar muat truk yang akan membawa sayur mayur dipindah. Tapi rupanya hanya sebentar. Kini macet lagi dan kian menjadi-jadi. Masyarakat Nagari Aie Angek, Koto Laweh, Koto Baru, dan Pandai Sikek malah ikut menderita, karena ratusan kendaraan, karena mencari jalan alternatif, terjebak macet juga di jalanan kampung mereka yang sempit, menanjak, berliku, dan berhiaskan jurang di kiri kanan jalan.
Adalah benar, jalan alternatif menjadi salah satu solusi, yakni masuk dari Pasa Rabaa, terus ke Nagari Kotolaweh, Baruah, Tanjuang, Kototinggi dan keluar di dekat Pasar Amur. Kalau dari arah Bukittinggi, sebaliknya.
Sering terjadi, ketika pengendara memutuskan untuk masuk jalan alternatif tersebut guna menghindari kemacetan di jalan nasional, eh…malah terjebak macet pula di jalur alternatif itu. Penyebabnya tentu macam-macam. Tapi satu hal pasti, jumlah kendaraan yang melintas tidak seimbang dengan kondisi jalan kabupaten itu. Jumlah kendaraan yang masuk jauh melampaui daya tampung.
Pada 11 September 2014 dan 10 Maret 2009, saya sudah mengutip ucapan gubernur Sumbar, bupati Tanah Datar, dan pejabat terkait lainnya, terkait solusi mengatasi macet akibat aktivitas pasar di Koto Baru itu. Tapi sampai kini, nyaris tak ada solusi yang disebut-sebut menjadi realisasi. Sungguh, amat mengecewakan!
Beragam solusi, sebenarnya sudah kerap dilakukan. Tapi sudah enam gubernur Sumbar yang sempat berjanji akan menuntaskannya, tetap saja mengalami kegagalan.
“Rasanya sudah muak kita melihat dan merasakan, betapa susahnya meliuk-liuk di sela-sela kemacetan akut ini. Dari dulu persoalannya itu ke itu saja. Macet bertahun-tahun tanpa solusi, aneh memang, ” tulis seorang pengendara sepeda motor, Yansen, yang setiap hari harus melewati kawasan Kotobaru karena tugasnya.
Beberapa walinagari yang daerahnya terkena dampak kemacetan akibat pasar tumpah Koto Baru itu mengaku, mereka sudah berulang kali diundang ke kantor gubernur untuk membicarakan masalah ini.
Warga Nagari Aie Angek termasuk yang paling sengsara bila terjadi kemacetan di Koto Baru. “Jalan-jalan menuju perkampungan kami habis tersumbat oleh kendaraan yang berjejal. Anak nagari bersepeda motor, tak dapat jalan untuk membelok ke sini. Kendaraan dari sini, juga tak bisa masuk jalan utama, ” katanya.
Kawasan Aie Angek yang terjauh dari pusat pasar tumpah itu, diperkirakan mencapai tiga kilometer. Itu artinya, antrean kendaraan macet dari arah Padang Panjang bisa mencapai empat hingga lima kilometer.
Kini, warga Koto Laweh dan Pandai Sikek pula turut merana. Jalan kampung mereka yang sempit dipadati kendaraan yang mencari jalan alternatif. Lantaran sempit, menanjak, dan berliku, akhirnya kendaraan jadi terjebak juga. Macet di jalur alternatif.
Sesungguhnya, kalau ada kemauan, solusi mengatasi macet ini mudah saja, tak perlu berbelit-belit adu teori.
“Bangun saja jembatan layang di pasar Kotobaru itu. Habis perkara. Biayanya tidak terlalu besar, waktu pembangunannya pun tak memakan waktu lama pula, ” ujar Dosen Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Ir. Surya Eka Priyana, MT.
Atau, imbuhnya, bisa juga dengan membuka jalan baru yang khusus untuk dilintasi pengguna jalan yang tidak ada keperluan dengan Pasar Koto Baru, misalnya dibangun sejak dari Nagari Aie Angek hingga Simpang Batu Palano.
Selama ini, beragam teori dan argumentasi berbelit-belit sudah ditawarkan pejabat negeri ini. Ada yang ingin membangun jalan alternatif di lereng Gunung Marapi, ada yang ingin membuat jalan alternatif melewati Nagari Pandai Sikek, ada pula yang menyatakan jalan tol segera dibangun. Tapi semuanya tetap teori. Sampai kini tak satu pun dari teori itu yang bisa diaplikasikan.
Ada juga yang ingin memindahkan Pasar Koto Baru, menggesernya ke belakang. Menggeser pertokoan dan stasiun kereta api agak jauh sedikit ke belakang, sehingga bisa dilakukan pelebaran jalan. Macam-macam teorilah pokoknya!
Dahulu masyarakat Pandai Sikek juga pernah menawarkan solusi. Mereka mau menyerahkan tanah guna pelebaran jalan tanpa ganti rugi. Bila itu dilakukan, jalur alternatif menghindari kemacetan jadi aman dilewati.
Kini mungkin masyarakat di situ tak mau lagi menyerahkan tanah mereka, karena usulannya ini sudah bertahun-tahun, tapi tak ada tanggapan sama sekali. Kini warga bertanya, kenapa tanah dan bangunan kami pula yang diserahkan untuk mengatasi macet itu? Cari sajalah alternatif lain.
Asril Erich, salah seorang pengurus Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Padang Panjang Batipuah Sapuluah Koto (FKMP Pabasko) pernah menyebut, gubernur yang mengucap janji akan menyelesaikan macet Koto Baru itu adalah Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Zainal Bakar, Gamawan Fauzi, dan Irwan Prayitno yang berkuasa selama dua periode. Kini sudah gubernur baru pula, Buya Haji Mahyeldi Ansharullah. Tapi belum juga punya solusi soal ini.
Di tengah tak terselesaikannya masalah itulah, kini ada ratusan kendaraan yang melewati jalur alternatif yang amat berbahaya dan rawan kecelakaan. Mereka menanjak, membelok, dan menurun di jalan sempit dan berjurang dalam terbentang di kiri-kanan jalan, mulai dari Pasa Rabaa, Kotolaweh, Baruah, Tanjuang hingga ke Kototinggi.
Selain melewati jalan yang sempit dan berbahaya, para pengendara juga harus menyediakan uang lembar dua ribuan dalam jumlah yang cukup banyak. Sebab, hampir di siap simpang dan tikungan, mereka dikenakan sumbangan untuk Pak Ogah yang membantu mengatur arus lalu lintas. (***)